Langsung ke konten utama

Resensi Zia Anak Hebat Karya Linda Satibi





Judul: Zia Anak Hebat
Penulis: Linda Satibi
Penerbit: Lintang
Terbit: Cetakan Pertama, November 2015
Tebal: 160 Halaman
ISBN: 9786021614778
Ukuran: 13,5 cm x 20 cm 
Harga: Rp32.000,-
Penyunting: Mastris Radymas
Desainer Sampul: Andhi Rasydan
Desainer Isi: Dyah Ayuning Tyas
Illustrator: Naafi Nur Rohma

“Zi, sebuah keburukan, seperti berbohong, jangan pernah dimulai. Karena ketika kita memulainya untuk pertama kali, maka selanjutnya akan ada kebohongan kedua, ketiga, dan seterusnya.” (Halaman, 74).

            Novel Zia Anak Hebat karya Linda Satibi ini intinya bercerita mengenai perjuangan seorang anak yang tadinya hidup mewah dan berkecukupan, di novel ini, ia diceritakan harus beradaptasi dengan kehidupan barunya, hidup dengan penuh kesederhanaan. Zia yang selama ini hidup bahagia harus tiba-tiba hidup sengsara saat Papanya berurusan dengan orang-orang yang Zia sendiri tidak mengerti siapa mereka dan pekerjaannya apa. Selaras dengan kejadian itu, Mama Zia selalu terlihat murung, dia selalu menangis dalam kesendiriannya. Dia juga sering terlihat sedih ketika sehabis sholat. Sering pula Zia temui Mamanya itu sesenggukan setelah melaksanakan ibadah tahajud. Puncaknya, Zia semakin menjadi bingung ketika dia harus pindah rumah, setelah sebelumnya dia ketahui bahwa mobil Papa dijual.

            Tokoh utamanya sendiri adalah Mumtazia Rasikha yang berusia 10 tahun, dia murid kelas lima SDIT Pelangi Cendekia. Sedangkan, tokoh lainnya yang turut berperan adalah Mama Zia bernama Rahmi, Papa, adik Zia yang terdiri dari Thea dan Salman, serta teman-teman Zia dari mulai Kak Iqbal, Nadia, Ola, Melvi, Shabrina, Hasna, Prita, Bunga, Muthey dan Shahna. Juga ada adik dan kakak Mama Zia yaitu Om Faruq dan Wak Zein.

                Novel ini berusaha menyampaikan dengan cerdas amanat-amanat yang perlu dipraktikkan oleh anak-anak masa kini tentu saja semua anak Indonesia yang berasal dari beragam etnis ataupun agama manapun, meskipun novel ini bernuansa Islam sekali, namun pesan-pesannya disampaikan secara general. Tiga pesan utamanya adalah tentang setiap anak harus mulai paham konsep kehidupan yang seperti roda berputar, pesan kedua adalah setiap anak akan menjadi dewasa karena segala permasalahan yang ia terima, dan pesan terakhir adalah setiap anak harus sabar kala menghadapi berbagai masalah.

            Apakah Zia mampu mengahadapi masalah-masalah yang menghampirinya? Apakah teman-teman Zia akan ada di setiap kesulitan yang dihadapinya? Lalu, kenapa Zia harus berbohong saat ia harus pindah rumah, tidak punya mobil lagi, dan tentu saja kala kondisinya sekarang dihantui segala permasalahan yang menimpa Papa Mamanya?

            Zia memang harus mengerti konsep kehidupan yang seperti roda berputar bahkan saat usianya belum cukup dewasa, karena faktanya menginjak remaja pun ia belum. Pesan ini berhasil penulis bungkus dalam novel setebal 160 halaman ini. Lewat 22 bab yang tentu saja menampilkan plot yang saling memberikan dampak satu sama lain. Disertai dengan alur yang bergerak maju, plot novel ini bedentum-dentum memaparkan bagaimana sosok Zia menghadapi kesulitan hidup. Dari sejak awal, Zia harus menghadapi keterkejutanya saat mobil Papa dijual, ia nekad berbohong pada teman-temannya dengan menyewa mobil rental. Sekaligus, ia juga berbohong pada Mamanya dengan bilang ia naik mobil temannya menginap di vila Ola. Meskipun pada akhirnya Zia jujur dan Mama paham kondisi Zia, masalah itu akhirnya berakhir.

            Plot lainnya bermunculan saat Zia harus menyembunyikan kondisinya yang sekarang pada teman-temannya. Kondisi psikologisnya pun terganggu dan itu memengaruhi prestasi akademiknya. Padahal Zia berjanji akan setidaknya unggul di prestasi menghapal Quran, ia harus menghadapi kenyataan bahwa prestasinya yang lain malah terganggu, yaitu akademik. Plot itu hadir dengan resolusinya ketika Hasna si anak pintar yang sering menyendiri mengajak Zia untuk belajar bersama, efeknya si centil Prita dan kawan-kawannya malah membenci Zia, mereka terus menerus mengolok-olok Zia, bahkan memfitnahnya. Zia untung saja memiliki teman-teman pemberani seperti Ola, Shabrina, Nadya, dan Melvi. Banyak lagi subplot yang dimasukkan penulis seperti perjuangan Mama Zia yang mencari pekerjaan pasca masalah Papa menimpa, juga mengenai perjuangan Zia menjadi anak sulung yang bisa diandalkan, semuanya membuat novel ini berplot dinamis dan tidak monoton meskipun tema yang diambil adalah perjuangan seorang anak untuk membuat orangtuanya bahagia.

            Pesan kedua yang coba disampaikan penulis mengenai setiap anak akan menjadi dewasa karena segala permasalahan yang ia terima. Benar, dalam novel ini Zia digambarkan sebagai seorang anak yang tahap demi tahap menjadi seseorang yang mandiri lewat penerimaan setiap problematika dalam hidupnya. Pesan ini berkaitan dengan setiap karakter dan karakterisasi di novel ini. Zia yang digambarkan tidak sempurna mampu mewarnai novel ini yang menampilkan karakter anak yang manusiawi. Betapa pada awalnya ia tidak bisa menerima segala perubahan drastis dalam hidupnya, baru setelah ia terima buah atas segala kesahannya, ia akhirnya berevolusi menjadi kakak yang bisa jadi panutan adik-adiknya. Begitupun Mama Zia, sifatnya yang tegas dan tangguh tak selamanya digambarkan dengan utuh layaknya Mama yang hebat. Ia pun sering terlihat rapuh di saat tertentu, ia juga sering merahasiakan hal penting pada Zia. Hal itu dilakukannya bukan tanpa sebab, melainkan ia paham pada waktunya Zia akan mengerti. Yang patut diacungi jempol dari karakter Mama Zia adalah ia sosok ibu yang sangat bijaksana, terbukti saat karakter Thea (adik Zia) yang tomboi dan suka mengekang, ia melarikan diri saat disuruh, Mama Zia menahan Zia yang kesal dan ingin sekali memarahi Thea. Menurutnya, lebih baik anak-anaknya menjadi sadar dengan sendirinya bukan karena dimarahi, jika demikian terjadi maka Mama patut menyebut anaknya shaleh atau shalihah. Sedangkan karakter-karakter lainnya sendiri digambarkan selaras, mungkin hal ini yang menjadi salah satu kekurangan. Seperti contohnya teman-teman Zia yang bersimpati dan terus membela Zia, mereka terasa berkarakter hampir mirip satu sama lain. Yang menonjol hanya Prita yang membenci Zia karena dekat dekat dengan Hasna. Dia digambarkan sering meluncurkan kata-kata menyerang Zia, bisa disimpulkan dia kekanakan karena masih manja juga berhubung tak mau teman-teman gengnya menjauhinya. Karakter-karakter orang dewasa lainnya pun digambarkan tidak begitu kontras, seperti Wak Zein, Om Faruq, tetangga-tetangga Mama Zia yang berempati pada masalah Mama, semunya mirip. Mungkin hal ini terjadi karena terlalu banyaknya tokoh yang dihadirkan penulis, meskipun masing-masing mereka berperan, namun kehadirannya hanya sekilas saja.

            Dan pesan terakhir yang coba disampaikan adalah tentang setiap anak harus sabar kala menghadapi berbagai masalah. Lewat penceritaan di novel ini yang mengambil gaya bercerita orang pertama, pembaca akan merasakan bahwa karakter Zia terkadang kurang hati-hati dalam mengambil tindakan. Sehingga lewat tingkah polahnya yang kadang-kadang menampilkan sisi manusiawi seorang anak kecil yang tengah menghadapi masalah, membuat pembaca menarik kesimpulan secara umum bahwa karakter anak-anak memang tidak bisa menghadapi masalah dengan berpikiran dingin terlebih dahulu. Hal ini berhubungan dengan amanat-amanat yang coba disampaikan, bahwa bersabar memang dibutuhkan kala menghadapi masalah, bukan hanya hal itu dipakai oleh orang dewasa saja, melainkan anak kecil pun harus bisa ikhtiar dan bersabar. Maka, penulis menampilkan figuran yang nantinya akan membantu Zia menghadapi masalah. Hal ini turut membuat presisi logika cerita masuk akal. Tokoh Kak Iqbal ditampilkan untuk menemani Zia di kompleks barunya. Ia adalah anak SMP yang ramah, baik hati, dan bisa dijadikan sosok kakak imajiner Zia. Latar belakang keluarganya pun membuat Zia semakin rendah hati. Keluarga Kak Iqbal memiliki masa lalu seperti keluarga Zia, Papa Kak Iqbal memutuskan pindah dari perusahaanya ketika di sana dikuasai pihak asing, Papa Kak Iqbal yang tidak menyukai ketidakadilan memilih resign padahal posisinya sudah tinggi, sehingg sekarang ia tengah kesulitan mencari pekerjaan. Namun, keluarga Kak Iqbal masih bisa menghadapi masalah, dan kala mereka tahu kondisi keluarga Zia, mereka tak segan turut membantu. Hal ini membuat Zia yang awalnya tidak betah tinggal di rumah sempit di kompleks baru menjadi nyaman, ia sadar bahwa hidup tenang bisa di mana saja, bukan hanya di rumah mewah dan lingkungan yang bonafide.

            Novel Zia Anak Hebat memang menampilkan kehidupan kekinian, namun dalam racikan ceritanya tidak mengesampingkan ciri-ciri khas novel anak. Penulis dengan bijak banyak memasukkan pesan-pesan tentang kebaikan yang membumi, dia juga tidak lupa untuk menuturkannya dengan tidak menggurui. Sekali lagi, novel Zia dengan amanat-amanatnya mengenai konsep kehidupan serupa roda yang berputar, perkembangan kedewasaan anak, dan selalu menjadi sabar dalam menghadapi masalah, menjadikannya novel yang pantas dibaca siapa pun. Bukan hanya anak kecil yang gemar memanen pesan dari gemar membaca novel yang sesuai usianya, pun orang dewasa juga bisa membaca novel ini, bahkan bisa espektasi mereka akan sangat terlampaui ketika tahu karakter-karakter dalam novel ini berkembang menjadi sangat baik lewat masalah-masalah pelik yang sengaja disajikan penulis.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Sex/Life Season 1 (Review Sex/Life, Series Barat Bertema Dewasa)

 

Ulasan Novel Sang Keris (Panji Sukma)

JUDUL: SANG KERIS PENULIS: PANJI SUKMA PENERBIT: GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA TEBAL: 110 HALAMAN TERBIT: CETAKAN PERTAMA, FEBRUARI 2020 PENYUNTING: TEGUH AFANDI PENATA LETAK: FITRI YUNIAR SAMPUL: ANTARES HASAN BASRI HARGA: RP65.000 Blurb Kejayaan hanya bisa diraih dengan ilmu, perang, dan laku batin. Sedangkan kematian adalah jalan yang harus ditempuh dengan terhormat. Matilah dengan keris tertancap di dadamu sebagai seorang ksatria, bukan mati dengan tombak tertancap di punggungmu karena lari dari medan laga. Peradaban telah banyak berkisah tentang kekuasaan. Kekuasaan melahirkan para manusia pinilih, dan manusia pinilih selalu menggenggam sebuah pusaka. Inilah novel pemenang kedua sayembara menulis paling prestisius. Cerita sebuah keris sekaligus rentetan sejarah sebuah bangsa. Sebuah keris yang merekam jejak masa lampau, saksi atas banyak peristiwa penting, dan sebuah ramalan akan Indonesia di masa depan. *** “Novel beralur non-linier ini memecah dirinya dalam banyak bab panja

Resensi Sumur Karya Eka Kurniawan (Sebuah Review Singkat)