Judul: Last Journey
Penulis: Kezia Evi Wiadji
Penerbit: Grasindo
Terbit: November, 2015
Tebal: 120 Halaman
Sinopsis
Jika sehari terdiri dari 24 jam atau 1.440 menit atau 86.400 detik. Setidaknya, aku telah bernapas di muka bumi ini selama 528 jam atau 31.680 menit atau 1.900.800 detik.
Luar biasa bukan?
Namun, pertanyaan yang muncul di benakku sejak satu bulan yang lalu adalah berapa lama lagi jam biologisku akan berdetak mengikuti detik jam yang ada?
By the way, namaku Erika Natalia. Aku mahasiswi tingkat akhir Jurusan Hubungan Internasional di Universitas Indonesia. Aku penderita leukemia kronis. Bisa jadi, Korea Selatan adalah perjalanan terakhirku!
Review
Membaca Last Journey akan membuat kita membayangkan Korea Selatan dari sudut pandang yang berbeda. Pasalnya, cerita di Last Journey akan mengajak kita bersimpati kepada penderitaan Erika. Dia harus mengelilingi Korea Selatan dalam rangka mengusir kepenatannya selama ini, bahwa ia telah satu bulan divonis menderita leukimia kronis. Dia mencoba kabur dari empati saudara-saudaranya, keluarganya, dan bahkan dirinya sendiri. Apakah Erika akan mampu mengubah sudut pandang terhadap dirinya setelah dari Korea Selatan? Siapakah yang akan menyembuhkan hati Erika yang sedang labil?
Membaca Last Journey akan membuat kita merasakan hal jauh berbeda ketika membaca novel bertema Korea Selatan. Selama ini ketika kita membaca novel bertema Korea Selatan, biasanya kita akan disuguhi tokoh-tokoh native, tetapi di Last Journey kita akan menemui tokoh wanita muda Indonesia asli.
Selain itu tema novel ini lebih kepada traveling. Karena selama kurang lebih seminggu, tokoh Erika akan mengunjungi berbagai macam tempat di Korea Selatan. Tentu saja tempat-tempat yang akan dideskripsikan adalah tempat-tempat indah di Korea selatan. Seperti contohnya adalah Jeju island, Nami island, Lotte world, dan lain sebagainya. Banyak juga budaya yang berusaha diangkat. Dari novel ini saya tahu bahwa penduduk kebanyakan di Jeju island adalah perempuan, berhubung populasi kebanyakan lelaki telah berkurang dikarenakan mereka meninggal saat melaut. Di Jeju island pula masyarakatnya lebih fokus ke pekerjaan yang alami sekali seperti melaut, berkebun, berdagang, dan pariwisata. Di sana tidak ada pabrik, dan sebagainya. Di setiap rumah-rumah di halaman depan pemukiman penduduknya terdapat patung batu yang digunakan sebagai simbol pengharapan anak lelaki.
Melalui novel ini, sekali lagi kita akan tahu banyak mengenai Korea Selatan. Selain itu pula hal yang paling penting adalah amanat novel ini yang mengajak kita semua untuk merenungi satu hal bahwa hidup ini memang perlu banyak-banyak bersyukur. Karena kadang, kita terlalu fokus kepada diri kita sendiri, kita tidak pernah melihat orang lain sehingga cenderung memandang hidup ini sempit. Dan di dalam buku ini pula di setiap awal babnya terdapat ilustrasi yang mencoba menyampaikan pesan kepada pembacanya. Intinya, buku ini cocok dibaca oleh kita agar bisa menghargai kesempatan hidup yang diberikan oleh Tuhan.[]
Komentar
Posting Komentar