Langsung ke konten utama

[Travel Writing] Mei di Bekasi



Minggu, 16 Mei 2013

Derap langkah kedua sepatu hitamku memacu menyusuri zebra cross depan masjid raya Bogor, kulirik hape ternyata masih pukul 09.00 WIB. Sungguh, Bogor sedikit banyak membuatku stress karena kota ini bener-bener enggak bisa pisah dari yang namanya macet. Coba bayangkan, tiga hari berada di sini dalam rangka keliling IPB, tiap kutelusuri jalanan besar, always macet yang kulihat. Mataku tiap hari kudu ditetesi rohto karena hal ini. Budget turun drastis bo, gara-gara kejebak makan di warteg yang ternyata warung makan eksklusif ....

Kutunggu si dia yang enggak nongol-nongol. Cape sih, nunggu seseorang tanpa kepastian kaya gini, akhirnya aku memutuskan untuk singgah di masjid raya Bogor. Daripada kayak orang bego nunggu di depan gramedia Padjajaran? Ngiler iya, mau beli buku udah terlanjur rempong. Mana di sana enggak ada tempat penitipan barang, alhasil aku jadi penghuni masjid untuk sementara.

Kemudian dia sms, huft nada sms-nya benar-benar menggambarkan kekhawatirannya sebagai seorang kakak. Iya, ka-kak, bukan siapa-siapa, emang kalian pikir dia siapa? Iya, kakakku Iik akhirnya menjemputku juga, dengan santai dia langsung mengajakku segera hengkang dari sini. Dia dengan baik hati membawakan salah satu dari tasku yang massanya kira-kira enggak lebih ringan dari tujuh buah bola basket.

Pria yang hampir seperempat abad itu mengajakku untuk singgah sebentar di warung makan. Tapi, buru-buru aku tolak karena aku yakin dan masih tak sanggup untuk merogoh isi dompetku. Alhasil, kami terdampar di tukang gado-gado dekat terminal Baranangsiang.

Pukul 11.00 WIB
Bus itu aku naiki dan sesungguhnya aku tak mampu berada di dalamnya terlalu lama. Karena kupandangi sekitar, penumpangnya sudah melebihi kuota. Ditambah pedagang asongan yang hilir mudik mencari nafkah, sungguh aroma peluh menguar dahsyat dari sana.

Sampai akhirnya, Ang Ik (panggilanku kepada kakakku) itu menyuruhku turun untuk naik kendaraan selanjutnya, sebuah angkot berwarna merah yang entah aku tak tahu akan mengantarkanku ke mana. Sungguh, kini satu lagi kendaraan membuatku terkejut-kejut. Rasanya untuk daerah penopang ibu kota, tampilan angkot ini terlalu menyeramkan. Kaca yang berlapis plastik-plastik film itu kadang mengancam setiap penumpang, ada rasa khawatir yang akan membelenggu psikologi penumpang wanita, aku yakin.

Setengah jam di angkot, plus lima belas menit di bus sebelumnya. Entah turun di mana, aku kembali lupa menanyakannya lagi kepada Ang Ik. Bus lagi yang akan membawaku ke destinasi berikutnya. Kulirik hape lagi-lagi, sudah pukul dua saja. Akhirnya, aku tiba di rumah Kevin. Keponakan pertamaku dan ibunya (istri Ang Ik) langsung menyambutku dengan smile ....

Kevin, bocah kecil itu melirikku tajam, kemudian reaksi selanjutnya ia menangis. Duh, itulah kebiasaannya. Ketika bertemu orang baru langsung merintih. Huhuhu .... Bocah kecil lucu yang mewarisi wajah ayahnya, dan mata seperti ibunya.

Ibu Kevin yang sering kupanggil Mbak Eka itu langsung menyuruhku makan. Saat makan, si Kevin lagi-lagi melirikku. Dalam hati aku merasa terancam, apa maumu Kevin? Apa kau tak rela aku singgah di sini? Just guyon, namanya juga anak kecil. Setelah makan, tanpa tedeng aling-aling, aku memotreti Kevin. Dan taraaaaa .... Foto-foto di bawah ini adalah hasilnya. Bocah yang umurnya hapir dua tahun itu tampak imut sekali, seperti omnya .... Hehehe ....



Imut sangat, Vin!
Lucu ya? Kaya Om-nya ...
Kevin >_<

Besoknya, dengan berat hati aku harus segera pulang. Ya, kembali ke asal. Aku tidak mau terlalu lama di sini, di Bekasi ini, di kota yang langitnya tampak memerah ketika malam. Sungguh, aku terlalu merepotkan kakakku dan juga kakak iparku. Pada akhirnya, Senin 20 Mei, aku harus segera pulang naik Dedi Jaya menuju Cirebon. Huft, selamat tinggal Kevin! Selamat tinggal Bekasi!

Oh ya, mungkin kalian bertanya-tanya, tiga hari sebelumnya aku ke mana aja sih, ke IPB dalam rangka apa? Yang penasaran sila saksikan di sini. Bagian keduanya di sini. Dan bagian ketiganya di sini. Happy reading! Moga termotivasi dan menginspirasi!


Komentar

  1. hahaha ... Ke Depok enggak ngajak-ngajak kamu juga ^_^

    BalasHapus
  2. akh, masa sarmag gundar dompetnya tipis sih? seharusnya ngajak aku atuh buat ke sanaaa

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Sex/Life Season 1 (Review Sex/Life, Series Barat Bertema Dewasa)

 

Ulasan Novel Sang Keris (Panji Sukma)

JUDUL: SANG KERIS PENULIS: PANJI SUKMA PENERBIT: GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA TEBAL: 110 HALAMAN TERBIT: CETAKAN PERTAMA, FEBRUARI 2020 PENYUNTING: TEGUH AFANDI PENATA LETAK: FITRI YUNIAR SAMPUL: ANTARES HASAN BASRI HARGA: RP65.000 Blurb Kejayaan hanya bisa diraih dengan ilmu, perang, dan laku batin. Sedangkan kematian adalah jalan yang harus ditempuh dengan terhormat. Matilah dengan keris tertancap di dadamu sebagai seorang ksatria, bukan mati dengan tombak tertancap di punggungmu karena lari dari medan laga. Peradaban telah banyak berkisah tentang kekuasaan. Kekuasaan melahirkan para manusia pinilih, dan manusia pinilih selalu menggenggam sebuah pusaka. Inilah novel pemenang kedua sayembara menulis paling prestisius. Cerita sebuah keris sekaligus rentetan sejarah sebuah bangsa. Sebuah keris yang merekam jejak masa lampau, saksi atas banyak peristiwa penting, dan sebuah ramalan akan Indonesia di masa depan. *** “Novel beralur non-linier ini memecah dirinya dalam banyak bab panja

Resensi Sumur Karya Eka Kurniawan (Sebuah Review Singkat)